The last sanctuary - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Hari-hari mulai kulalui bersama Miki. Hari-hari yang menyenangkan walau pemuda itu tak henti-hentinya memohon tamparanku lewat keisengannya. Suatu hari, Miki datang membawa seikat bunga, menyerahkannya padaku seraya mengatakan, "Untuk dewiku." Dan saat aku berusaha mati-matian untuk tidak terlihat kegirangan dan tersipu-sipu, ia malah terkakak-kakak sambil memegangi perutnya.
"Sudah kuduga. Mukamu akan terlihat konyol."
Dan aku terpaksa melemparkan bunga itu ke wajahnya.

Di suatu saat yang lain, Miki akan menemaniku menulis berjam-jam lamanya sambil membaca literaturnya. Aku paling suka melihatnya saat ia serius, garis-garis wajahnya sebagai seorang lelaki tampak begitu nyata membayangkan kekokohan hati. Saat aku memperhatikannya dengan seksama, Miki pasti dapat merasakannya, tersenyum dan menutup wajahnya dengan buku. Untuk kemudian dimunculkan dalam bentuk tak karuan yang mau tak mau membuat perutku sakit kegelian.Hari-hariku berlalu bersamanya dalam keceriaan. Aku merasakan telah menemukan dunia yang selama ini hilang dari genggamanku.

Mama dan papa Frans merasa senang dengan perubahan yang kualami akhir-akhir ini. Badanku semakin sehat dan aku sendiri mulai jarang termenung-menung di depan balkon. Aku lebih sering menyulam menghabiskan waktuku menunggu kepulanganya dari kuliah untuk menemaniku. Miki juga terlihat menikmati menghabiskan waktunya denganku, berbincang lewat tulisan dan menggodaku.Pernah terbersit khayalan di benakku, bahwa aku seperti isteri yang menunggu kepulangan suaminya dari kerja apabila sedang asik menyulam. Dan khayalan itu terasa begitu menyenangkan.

Sabtu itu cerah sekali. Dan aku sudah bangun sekitar pukul tujuh, apalagi kalau bukan menunggu Miki menemaniku. Kupencet bel dan pembantu-pembantu itu datang untuk menolongku ke kursi roda. Mama sudah mengijinkan mereka masuk dan melayaniku. Mungkin karena aku lebih ceria sekarang. Aku sendiri sih lebih suka seperti ini. Mama tak boleh lagi terlalu keras hati untuk selalu berada di sampingku. Lagipula.. lagipula kan ada Miki yang memanjakanku. Hihihi..Dan pembantu-pembantu itu hanya nyengir kuda melihat pundakku yang berguncang. Jadi kusuruh saja mereka keluar. Lagipula hari ini aku ingin mencoba sesuatu.

Kugerakkan kursi rodaku ke depan cermin. Kusisir rambutku sambil mengagumi kecantikanku. Miki selalu tertawa apabila ia melihatku seolah berdendang dan tersipu-sipu sendiri di depan cermin. Kumiringkan kepalaku ke kiri dan ke kanan seperti apa yang biasa dilakukan pemuda itu. Dan aku tertawa melihat raut wajahku yang mendadak menjadi sok imut.

Kuputar knob shower di hadapanku dan membiarkan air hangat membasahi baju tidurku. Aku ingin mandi sendiri. Miki pasti akan girang mengetahui aku setidaknya dapat mandiri. Kutarik baju tidur itu dari betisku melewati kepalaku. Air hangat ini terasa lebih menyenangkan ketimbang handuk panas. Kubuka baju dalamku dan mendesah merasakan kenikmatan air itu menyapu ketelanjangan kulitku. Sabun itu terlalu jauh. Mungkin aku bisa..

Kuangkat tubuhku dan menyeretnya turun dari kursi. Lantai kamar mandi ini ternyata tak sehangat air shower. Kugapai kotak sabun cair itu dan menyemprotkannya ke telapak tanganku. Sejenak aku merasa geli melihat kedua kakiku yang terkulai seperti boneka di atas lemari. Perlahan kusabuni sekujur tubuhku. Dalam hati kudendangkan lagu-lagu long march yang menambah semangat. Mungkin orang-orang akan mengira aku gila. Membuka mulut tanpa bersuara. Cuek saja lah. Ini kan hidupku.

Tapi masalah datang setelah air hangat itu membasuh sisa sabun terakhir yang menempel di tubuhku. Bagaimana caraku keluar? Tunggu, mungkin begini. Kujulurkan lengan kananku meraih pegangan pintu, tapi lengan kiri yang menopang tubuhku malah tergelincir. Semua menjadi gelap. Pelipisku terasa sakit sekali. Miki..

Bab II

"Anak bodoh," Miki mencubit hidungku setelah mama dan papa Frans keluar dan menutup pintu kamar.
Semula aku ingin tersenyum menanggapi candanya, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Pipiku terasa panas oleh air mata dan bibirku bergetar. Pemuda itu malah tertawa semakin keras. Tapi kemudian ia membungkukkan tubuhnya dan mengecup keningku.
"Lain kali jangan bertindak yang aneh-aneh, ya?"
Kuangkat kedua lenganku dan merangkul lehernya, kususupkan kepalaku ke dadanya dan menangis sekerasnya.

"Aku bodoh, aku tak berguna.." seandainya ia bisa mendengarku.
"Hush. Kamu gadis yang tegar. Kamu lebih baik dari gadis manapun yang pernah kukenal."
Ia bisa mendengarku? Ataukah ia benar-benar sudah mengerti aku?
Telapak tangan pemuda itu terasa hangat menepuk punggungku dan menenangkanku.
"Aku mencintaimu. Jangan tinggalkan aku sendiri."
Apakah ia juga mendengar yang satu itu.
"Aku akan lebih sering menemanimu."
Bukan.. bukan yang itu. Yang pertama.

Esok paginya, pembantu-pembantu itu memandikanku seperti hari-hari yang lalu. Mama sempat mampir untuk menanyakan keadaanku dan apa yang kuperlukan hari ini. Beliau tampak lebih muda akhir-akhir ini. Mungkin kehadiran Miki dalam keluarga kami memberikan masukan yang begitu luar biasa bagi mama.

Malam itu mama memberikan sekotak baju baru. Dan aku merasa sangat senang dengan blazer hitam itu. Tapi, bagaimana aku akan mengenakannya? Dan untuk apa baju baru?"Ini kamu pakai ke pesta besok malam. Oke?"
Pesta?
"Pesta ulang tahunmu, ingat?"
Astaga. Ternyata aku akan berulang tahun besok.
"Whua, bagaimana kabar tuan putri?"
Mama tersenyum melihat kehadirn Miki yang sudah seperti keluarga sendiri, "Ini, Dita dapat baju baru."

"Miki! Miki!! Aku ulang tahun besok!"
Kurentangkan kedua lenganku ke arahnya. Miki mendekat dan membiarkan aku merangkulnya. Mama hanya tersenyum lalu melangkah keluar kamar. Pemuda itu mengangkat blazer dari dalam kotak dan membantangkannya di pangkuannya, "Indah sekali."
Hihihi.. kamu belum melihatku memakainya, bukan?
"Kamu pasti cantik sekali kalau memakainya, Tuan Puteri."
Mengapa pemuda ini selalu tahu apa yang kupikirkan?
Miki mengaduh saat kujepit lehernya dengan kedua lenganku.
Pemuda itu meletangkan tubuhku dan menatap mataku.

Kediaman sesaat membuatku terkesiap. Miki belum pernah memandangku setajam ini sebelumnya. Apakah ia akan..
"Bwahahahaah, mukamu tampak bego!"
Dan kutampar pipinya seperti biasa. Dan pemuda itu pun cengar-cengir seperti biasa.

"Dit, aku ingin membaca tulisan-tulisanmu."
Hah. Jangan dong, permintaan itu sama saja dengan membiarkanmu membaca kisah hidupku yang amburadul. Pemuda itu merasakan ketidak acuhanku dan mendekat.
"Ayo. Sedikit saja. Sebaris dua baris."
Tanpa sempat kusadari Miki sudah membopongku dan mendudukkan dirinya di kursi komputer dengan tubuhku di pangkuannya, "Kamu saja yang tunjukkan mana yang boleh kubaca."
Entah mengapa aku menurut saja dengan permintaannya. File demi file. Waktu yang mengalir.Desahan dari bibirnya. Topangan lengannya. Dada yang hangat. Bau lelaki.

Bab II

Pemuda berbaju besi merawat si gadis molek dengan penuh perhatian, membalut luka kakinya dan memberikan nafas kehidupannya pada si gadis. Gadis molek bergaun putih menangis dan meratap tiap hari tiada henti. Rindu untuk berlari menelusuri pasir putih dan berpacu bersama angin pantai. Tapi pemuda berbaju besi selalu bisa meredakan tangisnya, menyadarkannya dengan meyakinkan bahwa hidup masih seindah dahulu.

Gadis menghabiskan waktunya menambal pakaian yang koyak dan menikmati sinar mentari yang bercanda bersama angin di permukaan kulitnya. Pemuda selalu hadir setiap kerinduan itu mulai menyeruak. Perlahan sang waktu berlalu, mentari terbit dan tenggelam. Bilur-bilur luka itu mengering dan menghilang, berganti tunas-tunas cinta yang siap untuk dituai. Gadis molek bergaun putih menanti dengan sabar. Ia sudah menemukan pasir putihnya dalam tatapan mata pemuda berbaju besi. Dimana ia bisa berlari dan bercanda, menangis dan tertawa. Ia sabar. Ia tak ingin kehilangan lagi.

Pemuda selalu mendekapnya tiap malam, memberikan kehangatan yang luar biasa. Kehangatan yang menenangkan yang seakan mengatakan, "Aku mencintaimu." Dan itu lebih dari cukup bagi hati yang terkoyak. Gadis tetap sabar. Menunggu dalam dekapan, dalam kehangatan. Cinta menunggu dituai.

"Selamat tidur, Dita."
Kecupan itu menyadarkanku dari lelapku yang sekejap. Kulemparkan senyumku untuknya. Miki mengangkat tubuhnya dan hendak berlalu, tapi kupegang pergelangan tangannya. Kulirik ke arah jam yang bergantung di dinding. Miki menatap jam itu dan tertawa, memalingkan wajahnya padaku.
"Selamat ulang tahun, Dita."
Bibirnya menempel di keningku. Tapi ini belum cukup. Kutarik lehernya dengan lenganku dan mengecup bibirnya. Tubuh pemuda itu bergetar sesaat. Tapi ia membalas kecupanku. Lengannya menyusup ke balik punggungku dan mengangkat tubuhku, bibirnya melumat bibirku. Hangat. Kupejamkan mataku menikmatinya. Nafasku mulai terengah.

Miki melepaskan rangkulanku dan tertawa renyah melihat kegusaran yang terpancar dari wajahku.
"Tidur, Bandel. Besok kamu akan kelelahan."
Miki mengecup keningku sekali lagi. Menarik selimut sampai ke daguku dan menatap sekilas, tersenyum sebelum melangkah keluar kamar. Meninggalkanku kembali sendiri.

Aku menuai cintaku sendiri. Tidak salah, kan?

Kulirik komputer yang masih menyala. Astaga, sampai sejauh mana ia membuka file-file itu??Masa laluku.. Pemuda bersayap malaikat.. Tengkorak-tengkorak itu..

Bab IV

Aku berusaha menghindarinya seharian. Aku merasa malu untuk melihat wajahnya. Aku takkan sanggup menatap matanya. Tidak setelah ia membuka nyaris seluruh file-file itu. Mama sempat keheranan saat kutunjukkan tulisan "Aku tak ingin ketemu Michael" padanya.
"Kalian bertengkar?"
Kugelengkan kepalaku. Mama hanya mengela nafasnya dan menemaniku menyiapkan diri untuk pesta nanti malam. Dalam hati aku bersyukur karena Miki tidak muncul seharian. Yah, sebenarnya aku sedikit munafik. Aku mengharapkan ia datang dan memohon untuk masuk. Setidaknya akan ada sesuatu yang seru. Tapi Miki tidak muncul seharian, dan malah aku sendiri yang bertanya-tanya.Mungkin ia sudah memandangku hina.

Yah, mungkin saja. Dari pemikiran itu, kutarik nafasku dalam-dalam dan menempelkan kepalaku di atas meja komputer, membiarkan angin dari jendela balkon menghembus wajahku. Mana mungkin calon dokter itu tertarik pada gadis sepertiku. Ya, kan? Jadi lebih baik aku kembali menulis dan menulis, berteman dengan hantu-hantu yang tak mengenalku. Mungkin benar hanya mereka yang dapat mencintaiku. Karena mereka takkan tahu siapa aku.

Malam itu suasana rumah benar-benar ramai. Aku masih ada di kamar, mengagumi kecantikanku dengan blazer hitam yang membalut tubuhku. Aku tak ingin buru-buru turun walau mama sudah merasa tak sabar. Paling-paling juga tak satupun tamu yang kukenal selain penghuni rumah ini.Iya kan. Dugaanku tepat. Yang hadir hanya oom-oom yang biasa menyedot uang Papa Frans, dan tante-tante yang memandang sirik ke wajahku lalu tersenyum mencemooh ke kakiku. Tapi si putri harus tetap tersenyum. Jadi Papa Frans mengenalkanku pada semua kolega (benalu-benalu)-nya. Senyumanku terasa dibuat-buat. Tapi mana mungkin aku dapat berkonsentrasi pada setiap perkenalan, sementara mataku mencari-cari dan hatiku gelisah.

Acara tiup lilin sudah usai. Tapi pemuda itu belum datang juga. Para tamu yang tadi bertepuk tangan dan bernyanyi dengan suara sumbang sudah menyibukkan diri untuk memenuhi perut mereka yang pasti sejak pagi belum diisi. Miki, di mana kamu.. Tidak bahkan kehadiranmu? Alangkah sepinya di tengah keramaian ini.

Kamar ini gelap. Lebih gelap dari biasanya. Mungkin karena kehidupanku sudah kembali pada asalnya. Sendiri dan kesepian. Aku tak boleh kecewa akan semua ini. Semua ini wajar-wajar saja. Kalau Miki pergi juga wajar-wajar saja. Kugerakkan roda di kursiku ke depan kaca. Blazer ini indah sekali. Dan alangkah cantiknya aku. Tapi Miki takkan bisa melihatnya setelah aku melepasnya. Mengapa aku harus menangis di tengah tumpukan kado ini?

Alangkah bodohnya aku. Hey, aku kan sudah pernah menjalani hidup seperti ini. Bukan sebentar, tapi dua tahun. Lalu mengapa aku tak bisa menjalaninya sekali lagi? Tapi kecupan di bibir ini semalam.. Masa bodoh. Kuangkat kepalaku dan menatap pantulan wajah keangkuhan dan kekerasan kepalaku di cermin. Aku Joan of Arc. Kubusungkan dadaku, menegakkan kepalaku dan menggerakkan bibirku tanpa suara.
"Aku gadis perkasa. Aku Joan of.."
"Hehehehe.."

Bab V

Miki?
Dan pemuda itu bersandar di ambang pintu sambil menutupi mulutnya. Pemuda yang satu ini..
"Keluar..! Aku tak ingin melihat kamu!" ucapku lewat pandangan mataku.
Tapi pemuda itu malah mendekat. Kuraih botol parfum di sampingku dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Tapi Miki sudah memegangi lenganku.
"Bayi besar yang emosionil." Dan ia mengecup bibirku.
"Miki," aku mendesah dalam hatiku dan memejamkan mataku, membiarkan bulir air mata itu menetes di pipi.
Kulingkarkan lenganku di lehernya, mendekapnya sebegitu erat memastikan itu bukan ilusi. Jangan pergi dariku. Temani aku. Selamanya.

"Aku punya sesuatu untukmu," Miki meraih lengan kiriku dan sejenak membuatku tersentak saat ia melepaskan cincin itu dari jari manisku. Jangan ambil cincin itu!
Kenangan pemuda bersayap malaikat begitu cepat bagaikan kilat terenggut dengan terlepasnya cincin itu. Kucoba meraih cincin itu tapi Miki menepiskan lenganku dengan sedikit kasar.Jangan, Miki.. please..
Kututup kedua wajahku dengan telapak tanganku. Bahuku berguncang dan nafasku tersendat di tenggorokan. Satu-satunya memori yang tersisa dari orang yang pernah kukasihi.

"Jangan menangis, Dita. Semua sudah berlalu."
Kurasakan lengan kiriku tertarik, dan sesuatu menyusup di jari manisku. Kubuka mataku dan Miki mengecup pipiku. Begitu mesra dan begitu hangat. Anganku melayang jauh.
"Selamat ulang tahun, kekasihku."
Ini mimpi. Ini mimpi. Hanya mimpi!
Tapi Miki benar-benar di depanku sekarang. Mengecup bibirku dan menghentikan isakku. Michael..
"Kamu sudah boleh bicara sekarang. Luka itu sudah lunas."
"Miki.." dan aku tak pernah lupa cara berbicara, "Aku mencintaimu."
Pemuda itu tersenyum dan dapat kulihat air mata yang menitik di pipinya. Tuhan takkan mencobai umat-Nya diluar batas kemampuannya.

Epilogue:

Pasir putih dan angin pantai. Pemuda berbaju besi berlari dengan gadis molek bergaun putih dalam gendongannya. Menelusuri garis buih-buih yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan terdengar dari bibir gadis. Kebencian dan kesedihan yang menyatu dalam dirinya dan membuatnya bisu akan kata-kata sudah sirna. Dekapan kehangatan dan kemesraan pemuda berbaju besi menyapu awan-awan kelabu itu. Pemuda berhenti dan meletakkan tubuh gadis di atas pasir. Kepalanya menunduk dan mengecup mesra bibir gadis.

"Aku mencintaimu. Sekarang, selamanya."
"Tapi aku.."
"Apa adanya."

Gadis molek bergaun putih membiarkan bibir pemuda berbaju besi melumat bibirnya. Pasir putih dan angin pantai menjadi saksi dua tubuh yang saling menggapai kecintaan itu. Erangan, desahan, dan rintihan menyatu dengan debur ombak dan desau angin. Pemuda bercinta dengan si gadis bagaikan di alam mimpi. Sentuhan demi sentuhan, tekanan demi tekanan. Gadis merintih memuncakkan kenikmatan. Pemuda tersentak, mengejang dan terkulai. Matahari yang semakin tenggelam dan langit yang menghitam tersenyum dan tertawa riang. Tiang api turun dari angkasa, membelah langit, bergemuruh dan memamerkan eksistensinya. Gadis molek bergaun putih tersenyum dan terharu. Pemuda berbaju besi mengecup pipi gadis dan menatap tiang api yang perlahan membuyar.
"Ternyata Kau masih di atas sana.."

Cinta sudah dituai.
Apapun yang terhilang sudah kembali.
Seperti cakra, roda kehidupan yang berputar.
Tapi semoga sekarang terhenti dan tak berputar lagi.
Amin.

"Selamat malam, Sayang. Dan ingat, masa lalumu tidak seburuk yang kamu kira. Dan aku mencintaimu, karena aku mencintaimu."

Aku terlelap dalam bahagiaku.
Sayang masih terlalu singkat. Aku memang bukan penulis cerita yang baik. Maaf, maaf.. 1000 kali maaf. Tapi aku yakin cerita fiksi yang ditulis sepenuh hati bisa menjadi sebuah kenyataan.
"Life, oh life. Oh life.. must go on.. la la la la.."

TAMAT




Komentar

0 Komentar untuk "The last sanctuary - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald