The power of love - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Hubungan seperti ini berjalan setahun lebih, sampai aku merasakan ada yang berubah. Tiba-tiba ia jadi pemurung, sering kulihat ia melamun dan terkejut bila kusapa. Aku tahu ia punya masalah berat yang sulit diselesaikan. Hubungannya dengan Aji dan Fendi juga semakin kusut (masalah ini aku tidak dapat kuceritakan dengan jelas, soalnya Niki keberatan).

Perubahan ini mulai kurasakan sejak gagalnya rencana perayaan setahun kami jalan bersama. Akhir April Niki menghilang beberapa hari, dan tidak biasanya ia tidak menjelaskan kepergiannya (aku menduga ada kaitannya dengan Aji atau Fendi). Aku tidak banyak tanya karena mencoba menghargai privacy-nya. Kami tetap jalan seperti biasa, bahkan belakangan Niki makin manja, ia makin sering minta dipeluk pada saat kebersamaan kami. Kalau usai ku-'massage', Niki sekarang ingin tidur dalam pelukanku, saat seperti itulah Niki terlihat tenang dan damai.

Lalu misteri ini pelan-pelan terungkap: Juli 1994 ..

Saat itu kami istirahat di salah satu tempat di Putri Duyung, Ancol. Setelah makan, mandi, ia kupijat dengan telungkup di tempat tidur, tapi tumben ia tidak tidur. Usapanku di sisi dalam pahanya malah membuat Niki meninggikan pantatnya membuat bibir kemaluannya mencuat menantang. Aku tidak tahan, sambil tetap memijat lidahku menjilati bibir kemaluannya dari belakang. Niki menjerit-jerit kecil sambil menunggingkan pantatnya.

Tiba-tiba ia merengkuh tubuhku, membuatku terguling. Ia berbalik menindihku, lalu kami bergelut bergulingan dengan bernafsu. Sementara bibir-bibir saling melumat, organ sensitif kami saling menggesek dan menekan.

Dengan batang kemaluan yang keras dalam genggamanku, aku menindih, menggesek klitorisnya dengan ujung helm-ku yang basah oleh sperma yang mulai menetes. Niki hanya telentang diam dengan paha melebar. Saat kepala kemaluan kugesekkan di mulut vaginanya, ia memejamkan mata, merintih seperti bayi minta susu.

"Sakit Ki..?" aku berbisik.
Niki menggeleng, "Enaak..!" sahutnya.
"Kamu suka..?" tanyaku lagi.
Niki tidak menjawab, hanya merengek manja, "Mmhh.. di luar aja enak. Apalagi di dalem.." rintihnya dengan napas memburu.
"Teruus gesek.. iyaa.. di situ enak.. uhh.. tekeen..!"

Desakan kenikmatan yang meluap di sekitar kepala kemaluan tidak terasa membuat gesekanku semakin keras menekan mulut kemaluannya. Tiba-tiba.., slebb..! Kepala kemaluanku menyeruak ke dalam mulut liangnya. Niki terlonjak, matanya terbeliak sambil mendesah seperti merasakan kenikmatan. Rasa nikmat yang aneh tiba-tiba memenuhi kepala kemaluanku yang terjepit mulut vaginanya. Aku kaget karena kehilangan kontrol. Cepat kucabut batangku dan kugosokkan ke belahan bibir vagina seperti yang sudah-sudah.. maju.. mundur.. maju.. mundur, dan Niki mengejang.. muncratlah spermaku di perutnya.

Aku tidak pernah membahas peristiwa itu. Yang pasti Niki tidak perawan lagi, dan selama ia tidak ingin cerita aku juga tidak mau menanyakan. Aku jadi merasa 'hanya' teman walaupun sangat dekat, dan tidak berhak mengusut atau menginterogasi soal siapa, dimana, dan kapan terjadinya, itu adalah rahasia pribadi Niki.

Kami masih terus jalan dan semakin dekat. Kadang aku berusaha untuk menjauh supaya ia punya keleluasaan untuk memilih 'teman masa depan' yang terbaik untuknya, tapi usahaku selalu gagal. Niki bukan lagi sekedar teman jalan, tapi juga 'kebutuhan' untukku. Aku juga tidak pernah lagi mencoba untuk menyelipkan batangku ke dalam liang vaginanya pada percumbuan kami sesudahnya, kami tetap 'main di luar'.

Agustus 1994 ..

Aku beberapa kali melamarnya, dan ia selalu mengelak (dengan alasan yang dapat kuterima tapi tidak dapat kumengerti). Walau demikian ia semakin sering mendampingiku secara terbuka dalam berbagai kegiatan, sehingga semua orang menganggap kami pacaran.

Menyatunya: 12 November 1994 ..

Niki mengajakku ketemu untuk bicara sesuatu. Hari itu kami mangkal di sekitar Cempaka Putih. Setelah selesai makan, mandi dan sebagainya, Niki (tumben) mengajakku bicara serius.

Kami menggeletak telanjang, berpelukan di tempat tidur. Dengan sedikit tersendat ia memulai ceritanya, intinya ia berterima kasih aku telah melamarnya, tapi ia tidak dapat menerima karena merasa sudah tidak perawan lagi dengan suatu alasan yang tidak ingin diceritakan. Niki bertekad menikah dengan orang yang merengut keperawanannya (Aji? Fendi? Entahlah..), biarpun ia tidak yakin akan bahagia.

Ia bercerita sambil membenamkan wajahnya dalam pelukanku. Kata demi kata kudengarkan seiring linangan airmatanya di dadaku, jiwaku bagai melayang tanpa tubuh. Aku tidak dapat berkomentar apa-apa kecuali mempererat pelukan.

Beberapa saat kami membisu. Aku mengelus rambutnya, tubuh telanjangnya kujelajahi lembut dengan ujung jari.
Akhirnya aku tanya, "Sekarang kamu mau nggak jadi istriku?"
Ia menggeleng.
"Kalau nggak seperti ini, kamu tetap menolakku?" tanyaku lagi.
Ia terdiam, tidak menjawab.
Kutegaskan lagi, "Seandainya nggak ada kejadian itu, kamu mau nggak jadi isteriku?"
Ia tidak menjawab, tapi mengangguk pelan sambil mempererat pelukan.

Anggukannya mengembalikan semangat ke dalam tubuhku. Kucari bibirnya dan kuciumi pipinya, hidungnya, lehernya dengan hangat dan mesra, sementara tanganku mencari putingnya.
"Apapun keadaan kamu, aku pingin kamu jadi isteriku." bisikku sambil menciuminya lagi dengan lebih bernafsu.
Tanganku menjelajahi buah dadanya yang besar dan padat, kuremas pelan-pelan. Birahi kami semakin bergolak, bibirku pindah ke dadanya dan kukulum putingnya yang mulai mengeras.

Niki membiarkan bibirku menjelajahi perutnya yang rata dihiasi pusar yang mungil, sementara jariku memilin putingnya. Ia hanya mendesah sambil mengusap-usap kepala dan punggungku. Geliat kecil di pinggulnya saat lidahku mulai menjilati pinggiran semaknya yang tercukur rapi, membuat nafsuku semakin bergolak. Niki mulai melebarkan paha, membuat bibir vaginanya merekah terpampang di hadapanku. Pinggulnya yang terangkat mengundang lidahku untuk mengecap aroma khas dari cairan birahinya yang mulai menetes, tapi aku mengalihkan penjelajahan lidahku ke paha kirinya.

Dengan lembut jilatan lidahku menjalar sepanjang tepi dalam pahanya sampai ke mata kaki, lalu pindah ke kaki kanan menyusur menuju pangkal paha. Niki hanya mendesah dengan kaki kadang mengejang. Sampai di pangkal paha, kembali aku berhadapan dengan vagina merah merekah. Lidahku kini mulai menyapu labia mayora yang menebal, membuat pinggulnya melonjak, lalu berputar-putar di tepinya, Niki tersentak dan mendesah, akhirnya lidahku mendarat di klitoris.

Niki terlonjak, ia tidak lagi mendesah tapi mulai melenguh, tangannya menjangkau tongkatku yang sudah sangat keras, mengocok dan meremasnya. Jilatan di klitorisnya membuat Niki mengerang kasar sambil mengejang, mendesakkan mulut kemaluannya ke mulutku.

Aku berputar mengambil posisi di atasnya. Kembali kuciumi bibirnya dengan lembut, lalu dalam posisi konvensional kugosokkan batang kemaluanku yang sudah sangat keras ke mulut liangnya. Niki terbeliak sambil mendesah, mulut vaginanya bergerak menyesuaikan sapuan kepala penisku. Cairannya makin membanjir membasahi kepala penis yang makin kuat menekan sambil mondar mandir antara klitoris dan liang vagina. Putingnya makin mengeras, dadanya dipenuhi bintik kasar menandakan birahinya sudah tinggi.

Sementara itu batangku telah berada pada puncak kekerasannya, kepalanya yang licin oleh lumuran cairan birahi kutahan di mulut vaginanya. Dalam gerak memutar kutekan batangku sedikit demi sedikit, kugoyang-goyang, kutekan.. goyang.. tekan.. goyang.. tekan, dan.. bless.. kepala kemaluanku menyeruak ke dalam liangnya. Ia mengejang, maka kutahan dalam posisi itu menunggu reaksinya.

Niki malah menciumi bibirku, memeluk erat tubuhku, menggeliat seraya mendesakkan pinggulnya. Batang kemaluanku yang kepalanya sudah tertanam di liang vaginanya kembali terdorong pelan, membenam menyusuri lorong sempit yang membawaku mendaki kenikmatan yang sudah lama sekali tidak kurasakan.

Niki kembali mengerang, tangannya yang memeluk punggung mulai mencengkeram. Lalu saat batangku kutarik dan kutekan lagi, ia menggaruk dan mencengkeram. Batangku keluar masuk makin cepat, ia menggaruk, mencengkeram, mencakar sambil mengerang, kadang menjerit kecil. Makin cepat lagi dan kuputar-putar, ia mencakar, menjambak, mengerang, menjerit, mengeluh, dan mengelinjang.

Aku menancapkan batangku dalam-dalam, wajahku menyusup di bahunya sambil memeluk erat. Denyut-denyut kenikmatan yang menggumpal di ujung kemaluanku serasa akan meledak. Lalu kemaluanku memompa liangnya dengan gerakan kecil super cepat, aku mengerang, melenguh.. Aku KELUAR..! Beberapa detik Niki masih menggelinjang, lalu diiringi jeritan kecil ia menegang dan menggigit leherku. Niki juga KELUAR..!

Esoknya aku mengirim surat panjang sekali, intinya kukatakan setelah peristiwa semalam aku menempatkan diriku sebagai suaminya. Dengan persetubuhan itu, mestinya aku juga berhak menikahinya. Kukatakan, buatku tidak penting ia perawan atau tidak, lebih penting asal ia dapat bahagia bersamaku.

Niki tidak pernah menjawab secara tegas ajakanku, tapi ia berangsur kembali ceria. Dari peningkatan hubungan kami, aku menduga aku diterima. Jatahku secara kualitas meningkat drastis. Kegiatan kami sekarang adalah saling belajar membangun kenikmatan bersenggama, saling mengenal kesenangan masing-masing.

Bersambung ....




Komentar

0 Komentar untuk "The power of love - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald