Kenanganku bersama Jimmy - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kisah yang akan saya ceritakan ini adalah nyata, para pelakunya tidak saya ganti namanya, hanya lokasinya perlu saya samarkan. Kisah ini terjadi pada tahun 1997, sudah cukup lama memang, namun detil kejadiannya masih melekat kuat dalam ingatan.

Ketika itu, bulan Agustus 1997, hari Jumat, aku sedang santai di kamar kostku di lantai dua, lantai satu untuk tuan rumah, tiduran sambil mendengarkan musik. Aku hanya bertiga dengan teman kostku, seorang bernama Danar. Ia bekerja sebagai roomboy di hotel X, di kota Yogyakarta ini. Ia jarang berada di kost, tergantung sift-nya, kadang malam, kadang siang hari, sehingga saya juga tidak setiap hari bersosialisi dengannya. Satu lagi temanku bernama Budi, seorang aktivis mahasiswa, anggota senat dan seabrek organisasi lainnya. Sedangkan aku sendiri masih kuliah sambil bekerja sebagai guru atau bisa dibilang tentor bahasa asing di sebuah lembaga bahasa di Yogyakarta dan tentor fisika di sebuah bimbingan belajat di kota Yogya pula. Karena kondisi yang seperti ini, kami jarang bisa kumpul-kumpul bersama, namun aku senang, sebab memang aku tidak terlalu suka dengan situasi yang hingar bingar.

Kembali ke ceritaku, sedang enak-enaknya bersantai, maklum aku hanya off pada hari Jumat saja, tiba-tiba bel pintu rumah ditekan berkali-kali.
Setelah lebih dari lima kali, aku pun keluar sambil menggerutu, "Siapa sih..? Jam segini (kira-kira pukul 15:00) bertamu, seperti kurang kerjaan saja.."
Segera aku turun dan kubuka pintu ruang tamu. Dua orang berdiri di muka pintu, seorang pemuda dan seorang remaja.
Yang remaja, mungkin umurnya sekitar 17 tahun, dengan bahasa yang sopan, ia berkata, "Maaf Mas, mengganggu. Saya akan kost disini, beberapa hari yang lalu saya sudah ketemu Ibu kost dan sudah tercapai deal, jadi hari ini saya akan mulai menempati rumah kost ini."
"Oh ya, cuma masalahnya ibu sedang pergi." kataku, "Dan saya tidak tahu kunci kamar yang masih ada, jadi tunggu sebentar, ya.."

Sambil berkata demikian, kuajak tamu itu masuk ke ruang tamu.
Kemudian ia memperkenalkan diri, "Saya Edi, dan ini kakak saya Johan, kami berasal dari Sidoarjo, Jawa timur, lalu nama Mas siapa..?"
"Saya Ferry." kataku singkat, sambil kuamati cowok di depanku ini, bentuk mukanya oval, wajahnya tampan sekali, tidak sedikit pun jerawat ada pada wajahnya, matanya sedikit sipit, mungkin keturunan Cina, bibirnya tipis hampir tanpa kumis, hidungnya mancung dan rambutnya tersisir dari kiri ke kanan dengan rapih, hitam dan lurus. Belahan rambutnya hanya kelihatan tipis menunjukkan tebalnya rambut Edi. Modelnya seperti potongan rambut mandarin, namun tidak sekaku itu, lebih halus. Sebuah perpaduan yang sempurma antara wajah manis dan rambut yang bagus yang makin menambah manis anak ini. Kulitnya putih bersih, berat badan dan tinggi badan seimbang, mungkin tingginya sekitar 168 cm. Cara berpakaiannya rapih dan bersih. Setiap cewek yang memandang pasti terpikat padanya. Aku pun langsung jatuh hati padanya. Sedangkan Johan tidak terlalu tampan, dengan badan yang kekar dan sorot mata yang tajam. Tidak banyak yang bisa kuceritakan mengenai kakaknya.

Kami mengobrol sebentar dan kemudian Ibu kost datang.
Setelah masuk ruang tamu, ia berkata, "Oh, Mas Edi, sudah lama nunggu ya..? Maaf, Ibu baru ke warung."
"Belum kok Bu.., baru 20 menit." kata Edi.
"Begini Bu, karena Ibu tidak menitipkan kunci pada saya, maka saya tidak bisa mengajak Edi ke kamarnya.." kataku.
"Tadi Ibu lupa, soalnya Ibu kira Nak Ferry pergi." kata Ibu kost penuh basa-basi, "Mari Nak Edi, silakan naik ke kamar."
"Terima kasih." jawab Edi.

Kemudian aku dan Johan membantu Edi membawa kopernya ke kamarnya. Kamarnya persis di samping kamarku.
"Nah ini kamar Nak Edi, sebelah utara itu kamar mandinya dan sebelahnya lagi ruang cuci dan jemur, kalo ada yang perlu ditanyakan silakan hubungi Ibu." kata Ibu kost.
Setelah dirasa cukup, Ibu kost meninggal kami berdua. Mereka, Ibu kost dan Johan berbincang di ruang tamu, entah apa yang mereka bicarakan.
Giliranku berkata, "Di, kalo Kamu memerlukan sesuatu, atau mau tanya, hubungi aku saja..! Atau temen-temen yang lain. Silakan istirahat kalo capek, saya mau tiduran sebentar, Ok..?"
"Terima kasih Mas, sementara ini belum ada yang Saya ingin tanyakan." kata Edi.
Kemudian kulihat Johan masuk dan mereka berdua ke kamar Edi.

Malam harinya, kami berkumpul, aku, Danar, Budi serta Edi dan Johan. Kami saling berkenalan dan mengobrol sampai larut malam. Keesokkan harinya, pintu kamarku diketuk seseorang.
"Siapa..?" kataku.
"Edi Mas.."
"Masuk saja nggak dikunci kok."
Kemudian Edi masuk ke kamar, ia sudah rapih dan bersih, rambutnya masih basah, sepertinya baru saja keramas. Wangi baunya, kuingin sekali membelainya dan memilikinya.
"Mau pergi..?" tanyaku, ketika kulihat ia tampil dengan rapih.
"Ya, Mas. Pingin tahu kota Yogya, pinginnya sih muter-muter, Mas Ferry mau nggak nemenin saya..?" timpalnya.
"Boleh, cuma aku harus pergi dulu sebentar, paling nanti jam 10:30 aku sudah sampai. Nanti kita pergi bareng saja.." kataku.

Setelah itu, aku kemudian mandi dan pergi ke kampus. Setengah 11 lebih sedikit, aku sudah sampai di rumah, kulihat Edi sudah menungguku.
"Kita ke Malioboro saja ya, lihat-lihat situasi, aku juga sudah lama nggak kesana, ngomong-ngomong mana Johan..?" tanyaku.
"Ia baru saja ke terminal, pulang ke kampung Mas." katanya.
Aku hanya mengangguk dan kemudian kami pun berboncengan menuju Malioboro, karena hari itu Sabtu maka bisa ditebak, Malioboro cukup ramai. Bahkan berjalan di trotoar pun agak susah. Setelah agak lelah berkeliling, kami mampir ke MC. Donnald. Sambil menikmati burger, saya bertanya kepada Edi.
"Kok kamu baru tanggal sekian sudah sampai ke Yogya, memangnya kapan kuliah dimulai..?"
"Nggak lama lagi Mas, 10 hari lagi. Senin depan sudah mulai proses pendaftaran calon mahasiswa baru, ada tes kesehatan, bayar pendaftaran dan SPP, Opspek dan lain-lain. Kalo sekarang saya sudah datang, malah saya kira terlalu mepet, harusnya saya datang hari Rabu yang lalu, sehingga ada waktu untuk mengenal kota ini, khususnya rute bis yang ke kampus." katanya.

Kuamati saja ketika ia bicara, makin lama makin tertarik aku.
"Kalo soal bis gampang, di mulut gang kita, bis yang menuju arah timur, yang warnanya oranye dan kuning semuanya lewat kampus kita, jadi nggak usah bingung, pulangnya gunakan juga bis yang sama." kataku.
"Ngomong-ngomong kamu ini mirip dengan bintang film mandarin, kamu tahu nggak..?" tanyaku.
"Nggak, nanti kalo bilang tahu, dikatakan sombong lagi." katanya.
"Kamu mirip sekali dengan Jimmy Lin." kataku.
"Bagaimana kalo kamu kupanggil Jimmy, boleh nggak..?"
"Boleh saja Mas, sejak SMA aku dipanggil Jimmy oleh temen-temen." balas Edi.Kemudian kami bercakap tentang banyak hal, keluarganya, pacarnya (ternyata belum ada) sekolahnya dulu dan lain-lain. Kami makin akrab dan dekat, dan aku makin kagum kepadanya. Mungkin ia juga punya rasa padaku, sebab aku sering memergokinya sedang melihat atau menatapku, dan kadang-kadang kami jadi saling salah tingkah. Namun karena belum lama kenal, aku belum berani melakukan sesuatu untuk melampiaskan hasrat seksku kepadanya.

Seminggu kemudian, aku mencoba pancing Jimmy. Malam itu, kupinjam vCD porno, baik yang normal maupun yang homoseks. Pintu kamar sengaja tidak kututup, teman-teman yang lain sudah tidur. baru 10 menit film itu kuputar, Edi alias Jimmy masuk, dan ia menonton film itu. Duduk di sampingku. Tidak lama kemudian, tanganya memegang bahuku, aku diamkan saja, lalu gantian aku pegang pahanya, dia diam saja, lalu aku sedikit naik ke pangkal pahanya, ia pun masih diam saja. Kemudian kusenggolkan tanganku ke burungnya yang kelihatnnya sudah mengeras.
Ia memandangku, segera kutarik dan kemudian aku berkata, "Jim, nanti kamu tidur di kamarku saja, soalnya aku sudah ngantuk dan kalo kamu keluar kamar ini aku bisa terbangun dan sulit tidur lagi, jadi tidur disini saja dan aku mau tidur sekarang. Kalo sudah selesai, tolong dimatikan. Lampunya 5 wattnya nggak usah dimatiin, oke..?"
Jimmy menyahut tanpa memperdulikanku, "Oke.."

Segera kupakai kain penutup mata (dibentuk seperti kacamata, warnanya hitam) sehingga aku tidak kelihatan kalau pura-pura tidur. Setelah kutunggu agak lama, akhirnya kurasakan spring bed-ku bergerak, tanda Jimmy naik ke bed. Aku tetap pura-pura sudah tidur. Kurasakan Jimmy menyenggol tanganku, namun kudiamkan saja, lalu tangannya mencoba memegang tanganku, kudiamkan lagi. Kemudian selanjutnya mungkin ia mengira aku sudah benar-benar tidur, ia melorotkan sarungku (aku biasa tidur dengan kain sarung namun tidak kulilitkan, hanya kupakai begitu saja dan hanya bercelana dalam dan bersinglet, karena udara agak panas malam itu) pelan-pelan. Kurasakan sarungku kini sudah sebatas dengkul dan kurasakan Jimmy memegang burungku. Aku agak kaget, namun berusaha untuk tetap diam. Rupanya ia hanya memegang sebentar saja karena tiba-tiba tangannya memegang bibirku. Ia buka bibirku yang terkatup dan memeganginya, lalu kurasakan hembusan nafas begitu dekat di wajahku, rupanya ia mencium bibirku. Bibirku ditarik oleh mulutnya, lalu dikunyahnya pelan-pelan, nikmat sekali rasanya.

Sementara itu, burungku sudah mulai agak menegang. Rupanya ia khawatir kalau aku terbangun. Sebentar kemudian, ia melepaskan lumatan di bibirku, dan tangannya kembali memegang burungku. Tangannya mulai masuk ke dalam celana dalamku dan mencoba untuk melorotkannya. Kubantu sedikit dengan cara yang hati-hati, kuangkat sedikit pantatku tanpa sepengetahuannya sehingga celana dalamku kini merosot di pahaku. Tangannya mulai turun ke daerah yang kutunggu-tunggu. Perlahan dipegangnya batang kemaluanku, ia mulai beraksi, dijilati bagian kepalanya. Terus dijilati dan kurasakan hisapan sampai hampir semua masuk ke dalam mulut. Dengan irama yang teratur, mulutnya turun naik perlahan. Selang beberapa menit, diurutnya dengan lembut dari pangkal ke pucuk, lembut sekali. Aku mulai merasa nikmat dan terangsang. Burungku pun mengeras. Nikmat sekali rasanya, pada saat ini juga kubuka mataku dan bersikap seolah-olah marah.

Kuhardik Edi, "Apa yang Kau lakukan..!"
Kulihat ia telah bertelanjang, burungnya yang cukupan untuk orang Asia telah tegang dan bulu kemaluannya tidak terlalu banyak, sorot matanya menampakan mimik yang sangat ketakutan.
Lalu ia berkata, "Maafkan saya Mas, Saya sangat terangsang, Saya tidak bisa mengendalikan diri, tolong jangan beritahu siapapun."
Dengan lagak marah, kukatakan, "Enak saja, kamu keterlaluan dan kamu harus mendapat balasan atas perbuatanmu, kamu akan kulaporkan pada orang tuamu dan Ibu kost."
Kembali Jimmy merengek, "Sekali lagi, maafkan Saya, Saya akan melakukan apapun asal tidak diberitahukan ke orang lain apalagi orang tua Saya maupun Ibu kost, please.."
Kulihat matanya merah dan berkaca-kaca, rupanya ia menangis, namun aku masih pura-pura marah.

Sedetik kemudian, ketika aku bangkit berdiri dan seolah-olah ingin menghajarnya, ia berlari dan menubruk kakiku, memegangi kakiku dan kepalanya disentuhkan ke pahaku, sekali lagi ia merengek, pada saat itu pula aku tidak dapat meneruskan rasa marah yang sebenarnya hanya pura-pura itu. kubelai rambutnya, kuusap-usap dan sungguh burungku mulai tegang kembali, lalu kubimbing ia berdiri.
Kupandangi wajahnya yang sangat handsome itu, wajah yang imut-imut, wajah yang lebih cocok jadi foto model, lalu kukatakan, "Kau benar-benar menyesal dan mau melakukan apapun untuk menebus kesalahanmu itu..?". Ia hanya menggangguk.
"Baik, sekarang pergi ke kamarmu dan lihat apa yang akan kulakukan padamu nanti."
Ia segera ke kamarnya dan mengucapkan terima kasih. Dalam hati aku sangat senang karena rencana pertamaku berhasil, dan kini kutahu bahwa ia juga seorang penggemar lelaki.

Besok paginya, ketika kubangun, kulihat ia sedang termenung. Kudekati dia, dan Jimmy kelihatan kaget dengan kedatanganku.
"Ngapain pagi-pagi ngelamun, mikirin yang tadi malam..? Jangan khawatir, rahasiamu akan kujaga, asalkan kamu menepati janjimu semalam.." tegurku.
Aku sedikit geli melihat tingkahnya yang tidak lama kemudian terlihat wajahnya sedikit cerah.
"Sungguh, Mas..?"
"Tentu, kenapa tidak..?" kataku.
Lalu ia mengucapkan terima kasih berulang-ulang dan kukatakan supaya jangan sedih karena saya tidak akan melakukan hal yang buruk padanya.

Beberapa hari kemudian, ia mengikuti penataran P4 pola 45 jam, ia pulang setiap sore dan ketika bertemu denganku sudah terlihat biasa walau aku tahu ia menjadi berhati-hati.
Hari itu Jimmy sudah tidak kulihat akan ke kampus, lalu kubertanya, "Sudah selesai penataranya..?"
"Sudah Mas, sekarang saya libur dan besok ada briefing opspek, setelah itu baru Opspek." katanya.
"Baguslah kalo begitu, kamu akan pergi atau tidak..?" tanyaku.
"Ya, cuma sebentar. Paling nanti jam 10 sudah sampai ke rumah, Mas Ferry ada perlu dengan Saya..?" tanya Edi.
"Ya, ada sedikit perlu dan berkaitan dengan malam itu, aku harap kamu tidak pergi setelah aku pulang nanti. Kita perlu bicara 4 mata tentang janjimu itu, mumpung Budi pulang ke kampungnya dan Danar tugas malam, kamu mau kan..?" jawabku.
"Baik Mas, Mas Ferry pulang jam berapa..?"
"Aku pulang sekitar jam satu siang, Aku harus menghadap dosen pembimbing dan mengajar sebentar."

Karena baru saja UMPTN, maka tugasku mengajar di bimbingan test berkurang cukup banyak, sedangkan tugasku mengajarkan bahasa asing tidak terlalu terpengaruh. Jam setengah dua, aku baru sampai ke rumah, kulihat Jimmy sedang tiduran dan sedangkan Danar Sudah bersiap-siap ke kantornya. Setelah Danar pergi, Edi alias Jimmy kupanggil ke kamarku, kemudian ia masuk ke kamar dan segera aku tanya dia.
"Kamu masih ingat janjimu waktu itu tidak..?"
"Masih Mas.." singkat jawabnya.
"Apa janjimu waktu itu..?" tanyaku lagi.
Jawabnya, "Saya akan melakukan apapun asalkan Mas Ferry tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapapun."
"Bagus kataku. Sekarang mandilah yang bersih dan keramaslah, setelah itu kembalilah kamu kemari."
Dengan wajah sedikit curiga ia menuruti kata-kataku.

Bersambung . . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Kenanganku bersama Jimmy - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald