Lily Panther - I love this game - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Bagi pembaca yang telah mengikuti ceritaku, lupakan synopsis ini dan langsung ke cerita, tapi bagi yang baru "Menemukan" cerita ini diharap mengikutinya sejak awal seri Lily Panther.

Serial ini menceritakan pengalamanku sejak awal mula menjadi seorang pekerja sex (baca: "Selintas Kisah Seorang Call Girl") hingga menjadi seorang call girl yang freelance, termasuk petualangan dengan berbagai macam dan tipe orang, bermacam permainan dan bermacam macam lainnya.

*****

Sore itu Kuketuk pintu kamar 812 Hotel Shangri La, Edward membuka pintu dengan senyum ramah dan mempersilakanku masuk.

"Udah lama nunggu?" tanyaku basa basi.

"Ah enggak, barusan aja mandi".

Edward adalah seorang chinese tamu langgananku, entah sudah berapa kali aku melayaninya, hampir tak terhitung, kutemani dia setiap kali datang ke Surabaya. Sebenarnya tak ada yang istimewa darinya kecuali pembawaannya yang santai dan cenderung lucu, aku menyukai pembawaannya itu, di usianya pertengahan 30-an, dia seorang bisnisman sukses, kalau nggak salah dia mensuply suku cadang ke Pertamina. Seringkali aku diminta melayani client-nya yang dari pertamina, tentu saja setelah puas dia menikmati hangatnya tubuhku.

"Kamu itu bawa rejeki, setiap kali kukasih kamu pasti proyeknya gol" ujarnya suatu hari ketika kucoba menawarkan gadis lain saat aku "Fully booked".

Hampir jadi kebiasaan setelah menikmatiku semalaman, besoknya aku diberikan ke rekanannya untuk servis, bahkan ketika harus men-servis dua atau tiga tamu, aku dan gadis lain ditidurinya dulu bersamaan, tentu saja tanpa setahu mereka. Bagiku sendiri nggak masalah dengan siapa aku harus tidur, yang penting negosiasinya jelas dan menguntungkan.

"Ly, malam ini kamu nginap ya dan besoknya dengan Pak Sastro, nggak apa kan?" katanya sambil menghembus asap rokoknya.

Ini bukan pertama kali hal seperti itu, tentu saja aku nggak keberatan, toh nggak ada bedanya antara dia ataupun Pak Sastro yang belum kukenal. Tak lama kemudian kami sudah berpelukan telanjang di atas ranjang, saling berciuman dan meraba. Tangannya menjamah seluruh tubuh dan dadaku, kubalas pada selangkangannya.

Tubuhku ditelentangkan, dengan bebasnya dia menggumuli sekujur tubuhku, dari telinga, leher, dada, dikulumnya penuh gairah kedua putingku, lalu turun ke selangkangan. Tapi dia tidak langsung menjilati vaginaku, justru memutari menjilati paha hingga lutut. Aku menggeliat antara geli dan nikmat, desahan sudah keluar dari mulutku.

Kubuka kakiku makin lebar saat kepalanya berada di depan liang kenikmatanku, desahan berubah menjadi jeritan nikmat ketika lidahnya menyentuh perlahan klitoris dan bibir vagina. Kuremas kepalanya yang berada diantara kedua kakiku, tubuhku menggelinjang merasakan nikmatnya jilatan demi jilatan menyapu vagina, apalagi diselingi kocokan jari tangannya.

Napasku sudah ter-engah engah menerima permainan oralnya, aku terpejam sambil meremas remas kedua buah dadaku. Melihat aku sudah terbakar birahi, Edward mulai menyapukan kejantanannya ke bibir vagina, dengan dorongan pelan penis itu menerobos masuk celah sempit yang sudah lembab. Terasa begitu nikmat setelah sehari tadi melayani 2 tamu yang sudah tua, yang hanya mengandalkan nafsu tanpa tenaga.

Tarikan pertama yang perlahan kurasakan begitu indah untuk dirasakan, begitu juga sodokan sodokan berikutnya, aku benar benar melayang dengan penis yang tidak terlalu besar itu, mungkin karena perlakuan 2 tamu sebelumnya yang tidak bisa memuaskanku.

Kulihat wajah Edward yang penuh nafsu, wajah putihnya memerah terbakar birahi. Beberapa menit sudah dia mengocokku dari atas, kenikmatan demi kenikmatan kami reguk bersama. Tubuh kami rapat menyatu dalam ayunan irama birahi, desah dan dengus napas penuh gelora memenuhi kamar ini. Kujepit pingganggnya dengan kedua kakiku hingga penisnya semakin dalam mengisi rongga kewanitaanku, semakin nikmat rasanya.

Namun tak lebih 3 menit kami memacu birahi ketika kurasakan tubuhnya menegang disusul teriakan bersamaan dengan semprotan kuat pada vaginaku. Akupun ikutan teriak merasakan denyutan hebat darinya, 6.. 7.. 8 denyutan kurasakan, cairan hangat memenuhi liang vagina hingga serasa penuh dan meluber. Tubuhnya telungkup menindihku, napas dan denyut jantungnya begitu kencang terdengar, kupeluk dan kuelus punggunggnya untuk meredakan ketegangannya.

Aku yang sudah sering bercinta dengannya tak terlalu kecewa karena sudah tahu perilakunya, dia memang cepat selesai tapi cepat juga recover, dalam sort time kami kadang bisa bercinta hingga 3-4 kali, tapi kalau menginap tak bisa terhitung lagi, bahkan sering tidak sempat tidur untuk melampiaskan nafsu. Edward turun dari tubuhku, kami diam telentang berdampingan. Kupeluk kembali dia dan kusandarkan kepalaku di dadanya, dibalasnya dengan elusan lembut pada rambutku.

"Ly, kamu marah nggak kalau kita tambah satu orang lagi, bertiga gitu" katanya memecah kesunyian, entah kenapa suaranya sedikit bergetar.

"Kenapa harus marah? kan kita pernah ngelakuin, waktu itu di Sheraton kalo nggak salah" jawabku agak heran, nggak biasanya dia minta ijin seperti itu. Aku memang tak pernah menolak untuk main bertiga karena kerjanya lebih ringan tapi bayarannya sama atau bahkan lebih besar karena sensasinya bisa berlipat lipat.

"Bukan yang itu maksudku, tapi orang ketiganya itu laki" jawabnya pelan hampir tak terdengar.

Aku agak kaget, kutatap matanya tapi dia menghindari tatapanku. Aku diam saja, meski pernah melayani 2 laki laki sekaligus, tentu saja aku tak mau terlalu vulgar menerima ajakannya, tetap harus menjaga image supaya tidak terlalu terkesan murahan. Teringat kembali bagaimana aku melayani 2 tamuku bersamaan di Tretes (baca: Berbagi Ceria Dimana Saja) atau saat bergantian melayani tamuku dan seorang gigolo (baca: Live Show), entah model mana yang dia mau.

"Kamu marah ya, ya udah nggak usah dipikirin, anggap aja omongan orang bingung" kata Edward melihat aku terdiam. Aku beranjak dari tidurku dan duduk di atas tubuhnya, kutatap matanya dalam dalam.

"Emang kamu ingin melakukannya?" tanyaku. Dia diam, hanya anggukan kepala yang menjawab. Kami sama sama diam.

"Kalau kamu maunya gitu, ya terserah saja, toh tamu adalah raja" jawabku sambil memeluknya.

"Benar? nggak marah?" tanyanya seolah nggak percaya.

"Tapi aku belum pernah ngelakuin" jawabku bohong, pura pura lugu.

"Aku juga belum pernah, justru kita perlu coba, kata teman teman sih lebih asik" suaranya masih bergetar.

"Ntar jangan salahkan aku kalo nggak bisa muasin kamu" kataku lagi.

"Ah nggak, namanya juga nyoba". Aku terdiam, begitu juga dia.

"Lalu bagaimana dengan.."

"Masalah uangnya kamu nggak usah khawatir, aku ngerti kok" dia memotong pertanyaanku seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan.

"Trus satunya lagi siapa?" tanyaku. Sesaat dia terdiam.

"Ada temanku yang sering ngelakuin bertiga seperti itu, dari dia aku pingin nyoba, tapi kalo kamu keberatan bisa juga orang lain kalo kamu punya kenalan" katanya.

Aku teringat si Hengki, tamuku yang senang juga main bertiga dan aku sangat menikmati bercinta dengannya baik sendirian maupun bertiga (baca: Live Show), tapi kalo kupanggil dia, pasti kedokku terbongkar bahwa aku pernah main bertiga.

"Terserah kamu sajalah" jawabku pelan, toh dengan siapa saja bukanlah masalah bagiku.

Edward turun dari ranjang, diambilnya HP yang tergeletak di meja, dia menghubungi temannya menawari permainan itu. Aku menyusulnya ke sofa tapi duduk diantara kakinya, kubiarkan dia bicara dengan temannya, tak kuperhatikan bagaimana cara mengajaknya karena aku sudah asik memasukkan penisnya ke mulutku, sesekali terdengar desahan di sela pembicaraannya.

"Oke dia menuju kesini, paling 15 menit udah sampai" katanya ketika aku berdiri didepannya, tak kuperhatikan pembicaraannya, aku langsung duduk dipangkuannya. Namun dia menolak saat kucoba memasukkan penisnya yang sudah menegang.

"Kita tunggu Raymon aja dulu" katanya sambil mendorong tubuhku turun dari pangkuannya. Aku yang sedari tadi sedang tergantung dalam birahi tinggi, dengan muka masam meninggalkannya di sofa.

"Sambil nunggu kan bisa pemanasan dulu" kataku seraya memhempaskan tubuhku ke ranjang, dengan sedikit demonstratif kubuka kakiku lebar sambil mempermainkan klitorisku, akupun mendesis tak dibuat buat. Pancinganku berhasil, Edward berdiri menyusulku ke ranjang.

"Kamu memang wanita penggoda" katanya disusul kuluman pada putingku, tanpa menunggu lebih lama, kutarik tubuhnya keatas tubuhku dan kamipun berpelukan bergulingan di atas ranjang.

Tubuh telanjang kami bergantian di atas dan dibawah, saling menindih. Kali ini Edward diam saja saat kusapukan penisnya ke bibir vaginaku, kami saling bertatapan penuh nafsu, dengan sekali dorong amblaslah penisnya mengisi liang kewanitaanku. Untuk kesekian kalinya aku menjerit nikmat merasakan kocokan demi kocokan darinya. Kuraih kepalanya, kudekatkan ke wajahku dan kulumat bibirnya, kami saling memagut dengan gairahnya. Terlupakan sudah Raymon yang sebentar lagi datang bergabung dengan kami.

Meskipun kami bercinta dengan penuh nafsu, namun tanpa kata seolah sama sama menjaga supaya tidak orgasme, ini terlihat beberapa kali dia menahan gerakan atau bahkan mengeluarkan penisnya sejenak lalu memasukkan kembali tak lama kemudian. Akupun melakukan hal yang sama. Edward mulai mengocokku dari belakang, posisi dogie, bak berkuda liar, kami naik turun bukit birahi tanpa ada niatan menggapai puncaknya.

..DING ..DONG, bunyi bel pintu membuyarkan konsentrasi kami, tanpa aba aba Edward langsung mencabut keluar penisnya dan turun dari ranjang. Dia memintaku mengikutinya menuju pintu. Edward membuka pintu menyambut temannya, aku memeluknya dari belakang sambil menyembunyikan tubuh telanjangku dipunggungnya.

"Wah rupanya kalian sudah pemanasan" sapanya ketika melihat tubuh telanjang kami yang berdiri menyambutnya.

"Habis kamu kelamaan sih, eh kenalin ini Lily" kata Edward setelah menutup pintu. Masih bersembunyi di balik punggung Edward, kusalami Raymon.

"Oh ini toh yang namanya Lily, sudah lama aku dengar nama kamu tapi belum ada kesempatan mencobanya, habis katanya kamu susah sih" kata Raymon sambil menyalamiku.

"Ah nggak juga, mungkin belum jodoh kali" balasku.

"Begitu ketemu langsung berpesta nih" lanjut Raymon seraya menarik tubuhku dari punggung Edward.

"Wow.. perfect body" komentarnya ketika tubuh telanjangku sudah terpampang jelas dihadapannya, sorot matanya sekan hendak menelanku bulat bulat tapi dia tidak bertindak lebih jauh.

"Ed, rupanya kesampaian juga fantasimu ngeroyok seorang cewek" lanjut Raymon seraya duduk di sofa.

"Gara gara kamu juga sih, makanya kupanggil kamu kemari" jawab Edward.

Edward dan Raymon duduk di sofa sedangkan aku dengan tubuh masih telanjang duduk di pinggiran ranjang melihat kedua laki laki itu saling meledek terutama mengenai pengalaman sex mereka, terlihat bahwa Raymon mempunyai jam terbang yang jauh melebihi Edward, entah permainannya, masih perlu dibuktikan apakah sehebat omongannya.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Lily Panther - I love this game - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald